Dari Tanam Paksa, Masa Kejayaan, hingga Menunggu Kebangkitan Kembali
nidianews.com – Suara mesin uap meraung di tengah perkebunan tebu yang menghampar. Asap putih mengepul dari cerobong pabrik tua, menyatu dengan aroma khas molase yang pekat. Pemandangan ini mungkin masih bisa ditemui di sejumlah pabrik gula di Jawa Tengah atau Jawa Timur, meski jumlahnya semakin sedikit. Padahal, lebih dari seabad lalu, Hindia Belanda pernah digelari salah satu produsen gula terbesar dunia.
Sejarah gula di Nusantara berakar pada kebijakan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1830. Melalui sistem ini, penduduk dipaksa menanam komoditas ekspor, salah satunya tebu, untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa.
βProduksi gula menjadi penopang utama kas kolonial. Jawa kala itu disebut sebagai βpulau gulaβ,β ungkap sejarawan ekonomi, Ong Hok Ham, dalam salah satu tulisannya.
Tahun 1830-an hingga awal abad ke-20, ratusan pabrik gula bermunculan di Jawa. Menurut data arsip kolonial, pada puncaknya terdapat lebih dari 180 pabrik gula beroperasi, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat.
Masa Kejayaan: Jawa Mengguncang Pasar Dunia
Di paruh kedua abad ke-19, teknologi pengolahan gula berkembang pesat. Mesin uap besar didatangkan dari Eropa, rel kereta tebu dibangun untuk mempercepat distribusi, dan perkebunan tebu diperluas hingga menggeser lahan pangan penduduk.
Sekitar tahun 1930, produksi gula Hindia Belanda mencapai 3 juta ton per tahun. Angka ini menempatkan Indonesia (saat itu Hindia Belanda) sebagai eksportir gula nomor dua di dunia, hanya kalah dari Kuba.
Bagi pemerintah kolonial, gula adalah emas putih. Namun bagi rakyat, manisnya gula sering berarti getir: sawah yang harus beralih menjadi lahan tebu, kerja rodi di kebun, hingga kelaparan akibat berkurangnya produksi pangan.
Dari Nasionalisasi hingga Krisis
Setelah Indonesia merdeka, pabrik-pabrik gula yang sebelumnya dikelola Belanda dinasionalisasi. Tahun 1950-an, tercatat ada lebih dari 150 pabrik gula beroperasi. Namun, seiring waktu, jumlah itu terus menyusut.
Pada era Orde Baru, meski sempat menjadi komoditas unggulan, berbagai masalah mulai menghantam industri gula: mesin-mesin yang menua, produktivitas tebu yang rendah, serta persaingan dengan gula impor.
βPabrik-pabrik gula kita umurnya rata-rata lebih dari 100 tahun. Mesin masih buatan Belanda, sementara biaya produksi lebih tinggi dari harga pasar,β jelas Dwi Rahayu, peneliti agribisnis Universitas Gadjah Mada.
Kini, hanya tersisa sekitar 60 pabrik gula aktif, sebagian besar di Jawa, dengan total produksi sekitar 2,5 juta ton per tahun. Padahal kebutuhan nasional mencapai lebih dari 6 juta ton, sehingga Indonesia harus mengimpor jutaan ton gula setiap tahun.

Cerita Pabrik Gula Tua yang Jadi Ikon
Beberapa pabrik gula tua kini bertransformasi menjadi situs wisata heritage. PG Colomadu di Karanganyar, misalnya, yang dibangun pada 1861 oleh Mangkunegara IV, kini menjadi De Tjolomadoe, pusat wisata dan pertunjukan. Sementara PG Gondang Baru di Klaten masih menyisakan museum gula dengan koleksi mesin uap berusia lebih dari seabad.
βKami ingin anak muda tahu bahwa industri gula pernah menjadi kebanggaan bangsa ini. Mesin-mesin raksasa di sini adalah saksi sejarah,β ujar Suyatno, pengelola Museum Gula Gondang Baru.
Transformasi ini menunjukkan bahwa pabrik gula bukan sekadar tempat produksi, tapi juga warisan budaya industri.

Menatap Masa Depan: Mungkinkah Bangkit Lagi?
Pertanyaannya, bisakah Indonesia kembali berjaya di sektor gula? Pemerintah kini tengah mendorong revitalisasi industri gula nasional, dengan membangun pabrik baru di luar Jawa dan meningkatkan produktivitas tebu.
Namun, tantangannya berat: persaingan harga gula dunia, kebutuhan investasi besar, serta perubahan iklim yang memengaruhi produksi tebu.
βKalau hanya mengandalkan pabrik tua, kita akan semakin tertinggal. Revitalisasi dan modernisasi mutlak diperlukan,β kata Ir. Bambang Prihantoro, Direktur salah satu pabrik gula BUMN.

Meski masa kejayaan βpulau gulaβ mungkin tak kembali sepenuhnya, sejarah panjang pabrik gula di Indonesia adalah cermin tentang bagaimana sebuah komoditas bisa mengubah wajah bangsa dari tanam paksa, kejayaan ekspor, hingga ketergantungan impor.
Di balik setiap butir gula yang larut dalam secangkir kopi atau teh, tersimpan kisah panjang: keringat petani, deru mesin uap abad ke-19, hingga dinamika ekonomi global. Sejarah pabrik gula di Indonesia bukan sekadar kisah manis, tapi juga getir sebuah perjalanan yang masih terus berlangsung.(*)


















