nidianews.com – Di balik tenangnya ombak yang memecah batu granit raksasa di pesisir Belitung, tersimpan kisah panjang yang jarang disentuh. Sebelum nama “Negeri Laskar Pelangi” dikenal di seluruh penjuru negeri, pulau ini telah lebih dulu menyimpan cerita tentang dua kerajaan tua: Kerajaan Badau dan Kerajaan Balok.
Keduanya adalah saksi bisu bagaimana peradaban dan kearifan lokal tumbuh di tengah laut dan hutan, jauh sebelum peta Belitung tergambar di benak bangsa kolonial.
Kerajaan Badau: Jejak dari Hulu Sungai
Pagi masih lembab ketika kabut tipis menutupi lereng-lereng kecil di Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. Di sinilah, di tanah subur di antara sungai dan bukit, kisah Kerajaan Badau berawal berabad-abad silam.
Menurut tutur masyarakat, pendiri kerajaan ini adalah Datuk Mayang Gresik, seorang perantau dari tanah Jawa yang berlayar hingga ke ujung timur Sumatra. Ia menetap di lembah yang kini dikenal sebagai Desa Badau, membuka pemukiman, dan membangun pemerintahan yang berbasis adat dan musyawarah.
Bagi warga Badau, nama Datuk Mayang bukan sekadar legenda. Ia adalah simbol awal peradaban mereka. Dari sinilah lahir sistem sosial yang rapi, hukum adat yang tegas, dan kehidupan ekonomi yang berpusat pada pertanian, hasil hutan, dan perdagangan lada.
Konon, pada masa jayanya, kapal-kapal kecil dari Palembang dan Kalimantan kerap singgah di pelabuhan sungai Badau untuk menukar rempah, hasil laut, dan kain tenun. Di bawah pemerintahan raja-raja lokal, Badau tumbuh sebagai pusat kegiatan ekonomi di wilayah barat Belitung.
Kini, sisa-sisa masa kejayaan itu masih bisa dirasakan. Benteng Badau, yang sebagian dindingnya tertimbun tanah dan lumut, masih berdiri di tengah rimbun pohon. Di sana pula terletak makam Datuk Mayang Gresik, yang kerap diziarahi penduduk setiap bulan tertentu dengan ritual adat yang khidmat.
“Setiap bebatuan dan tanah di sini menyimpan cerita,” ujar seorang tokoh adat Badau. “Kerajaan Badau adalah cikal bakal kita, akar sejarah orang Belitung.”
Kerajaan Balok: Pelabuhan di Ujung Timur
Berbeda dengan Badau yang tenang di pedalaman, Kerajaan Balok bernafas dari lautan. Ia tumbuh di sisi timur Belitung di kawasan yang kini menjadi bagian dari Tanjungpandan. Bila Badau mewakili kekuatan agraris dan adat, maka Balok adalah wajah maritim Belitung, terbuka dan penuh interaksi.
Balok dikenal sebagai pusat perdagangan pesisir. Pelabuhan alaminya menjadi tempat persinggahan bagi perahu-perahu dari Johor, Bugis, hingga Palembang. Di sinilah para saudagar menukar hasil laut, rempah, dan kain tenun dengan barang dari luar pulau.
Catatan lisan menyebutkan, kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang arif dan diplomatis. Ia menjaga hubungan damai dengan kerajaan tetangga, termasuk Palembang dan Siantan. Namun, seiring datangnya kolonial Belanda pada abad ke-19, kejayaan Balok mulai meredup. Jalur perdagangan laut diambil alih, dan pelabuhan tradisional perlahan kehilangan denyutnya.
Kini, hanya nama Balok yang tersisa, melekat pada sungai dan kampung tua di pesisir Tanjungpandan. Namun setiap kali nelayan turun ke laut dan memulai ritual selamatan laut, sejarah Balok seakan berdenyut kembali hidup di antara ombak, doa, dan keyakinan bahwa laut adalah bagian dari jiwa mereka.
Warisan Dua Dunia
Dua kerajaan ini Badau di barat dan Balok di timur adalah dua sisi cermin dari satu pulau. Satu berpijak di tanah, satu berlayar di laut. Dari keduanya lahir karakter masyarakat Belitung yang keras dalam bertahan, lembut dalam adat, dan terbuka terhadap dunia luar.
Dalam pandangan budayawan lokal, harmoni dua kerajaan ini telah membentuk watak orang Belitung modern: religius, egaliter, dan berjiwa gotong royong. “Orang Belitung itu seperti air dan batu,” kata seorang sejarawan di Tanjungpandan. “Bisa lembut, tapi juga kuat menghadapi arus.”
Menjaga Api Sejarah
Kini, Pemerintah Kabupaten Belitung bersama masyarakat adat tengah berupaya menghidupkan kembali jejak sejarah dua kerajaan ini. Situs-situs tua seperti Benteng Badau, makam raja-raja, dan kawasan pesisir Balok mulai dijadikan destinasi wisata sejarah dan budaya.
Festival budaya pun rutin digelar menampilkan tarian tradisional, taber laut, hingga pementasan kisah berdirinya kerajaan. Semua itu bukan sekadar nostalgia, melainkan cara untuk mengajarkan generasi muda bahwa sebelum pariwisata dan timah, Belitung telah berdiri tegak dengan peradaban dan martabatnya sendiri.
Karena di balik setiap debur ombak dan hamparan pasir putihnya, Belitung menyimpan suara masa lalu yang berbisik: tentang raja-raja yang bijak, rakyat yang tangguh, dan tanah yang kaya akan kisah-kisah yang tak boleh hilang ditelan waktu.(RE)