Oleh ; Prof Dr. Zayadi Hamzah, M. Ag
Guru Besar sosiologi Agama pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN Syaik Abdurahman Sidik Bangka Belitung.
Pendahuluan
Hari ini tanggal 13 Zulhijjah 1446 Hijriyah merupakan hari terakhir yang disebut dengan hari Tasyrik. Dua rangkain ibadah yang ikut berakhir pada hari ini tepatnya setelah terbenamnya matahari hari ini, yaitu ritual penyembelihan qurban dan lantunan takbir yang mengagungkan kebesaran Allah Sang Pencipta.
Bagi umat muslim yang telah berkurban tahun ini, semoga qurban diterma Allah dan menjadikannya sebagai orang orang yang taqwa.
Kesunyian takbir yang berkumandang dari satu masjid ke masjid yang lain akan meninggalkan lantunan indah di telinga kita.
Hanya doa tertbaik yang bisa kita mohonkan kepada Allah agar dapat bertemu kembali dengan Adha atau Iedul Qurban tahun depan.
Idul Adha atau Iedul Qurban memiliki tetesan sejarah yang panjang terutama berkaitan dengan pelaksanaan ritual qurban dari masa jahililyah pra Islam menapak sampai kepada tradisi yang dimiliki umat manusia di penjuru dunia.
Tulisan Songkay ini tidak mengarahkan bahasan menuju sejarah panjang Iedul Adha dan Qurban, kecuali sedikit hal yang ikut memberi kontribusi memperjelas pembahasan ini.
Salah satu ayat papuler dan menyentuh keharusan untuk membahas ritual Qurban adalah QS. ayat 37 suroh al Hajj yang artinya ” Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi bertaqwa daripada kamulah yang dapat mencapainya…
Ayat ini merupakan respons Tuhan terhadap praktek kurban yang dilakukan kaum musyrik Makkah atau (kaum jahiliyah) yang melumur ka’bah dengan daging unta dan darahnya, lalu para sahabat mengklaim bahwa mereka lebih berhak melakukan itu.
Terhadap peristiwa ini Allah menegaskan bahwa praktek tersebut tidak bermakna dan tidak akan diterima oleh Allah.
Begitu kata Abu Hatim yang mendapat riwayat dari Ibnu Jraij. Ayat ini memunasabah ayat sebelumnya (ayat 36) dan ayat sesudahnya )ayat 38) yang menjelaskan tentang manipestasi dan aktualisasi taqwa dalam wujud mensyukuri nikmat Allah.
Ketika membicarakan ritual qurban kita mencoba meruntut dua hal yang substansial, pertama respons ketaatan nabi Ibrahim AS ketika datang perintah Allah kepadanya melalui mimpi untuk menyembelih anak satu-satunya yaitu Ismail AS dan kedua keikhlasan ismail AS siap untuk disembelih sebagai bentuk haqiqi penyerahan diri kepda sang kholiq.
Ketika perintah itu datang kepda nabi Ibrahim tidak sedikitpun keluh kesah atau keraguan mencari solusi terhadap perintah tersebut, yang hanya ada ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah.