Kendati perintah tersebut bila dimakna dengan logika ilmu suatu hal yang tidak rasional. Tetapi nabi Ibrahim melihat dari persektif wahyu dan iman sebagai kebenaran mutlak dari Allah, bukan kebenaran ilmiah perspektif keilmuan.
Sikap kepatuhan dan ketaatan kepda Allah yang diperan nani Ibrahim merupakan sebuah nilai pembelajaran ketaatan dan kepatuhan yang patut diaktualisasikan dalam kehidupan kita. Ketaatan dan kepatuhan kepada Allah membutuh pengorbanan hambanya.
Ketika perintah Allah ini disampaikan ayahnya Inrahim kepada anaknya ismail menjawab sebagaimana terekam dalam al-Qur’an yang artinya ” ketika anak itu sampai pada (umur) dia sanggup bekerja bersama, ia (Ibrahim ) berkata “
Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, fikirkan lah apa pendpatmu” (as Shoffat, 102).
Nabi Ismail merespon apa yang disampaikan ayahnya sebagaimana kelanjutan ayat tersebut yang artinya ” dia (Ismail) menjawab, wahai ayahku lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insyaalah engkau akan mendapatku termasuk orang-orang sabar” ( as-Soffat, 102)
Respons nabi ismail tanpa keraguan dan penih dengan kepatuhan tersebut memberikan keteladanan kepda anak-anak untuk taat kepada orang tua dalam kebaikan, karena ketaatan kepada orang tua adalah bagian dari bentuk pengabdian kepada Allah.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah sebuah bentuk penghargaan terhadap anaknya merupakan teladan dalam berkomunikasi antara orang tua dengan anaknya dalam kehidupan keluarga.
Respons Nabi Ismail dalam dialog tersebut mengandung nilai keikhlasan yang luar biasa dalam bentuk penyerahan diri dan keteguhan iman kepada Allah.
Nabi Ismail telah menunjukkan keteladanan yang paripurna dalam ketaatan kepada orang tua sebagi imbol kasih sayang.
Keteladanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail wajib direspons dan diaktualisasikan dalam diri kita.
Keduanya rela berkurban karena taat dan tunduk terhadap perintah Allah di atas kecintaan mereka terhadap keluarganya. Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS rela mengekang hawa nafsu dan egoisme dirinya untuk mematuhi perintah Allah Ritual Kurban dan elemiasi sifat kehewanan.
Pertanyaan ringan yang muncul dalam benak kita adalah adalah ” mengapa yang dijadikan qurbanatau disembelih sebagai kurban itu hewan bukan yang lain ? Kendatipun dalam tradisi keagamaan berbagai negara dibelahan dunia ditemukan manusia yang dijadikan kurban, tetapi Islam tidak demikian.
Dalam terminologi agama, semula kurban bermakna segala aktivitas dan sarana yang dibenarkan untuk digunakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Lebih spesifik kita bisa menyebut semua kegiatan yang berorientasi mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, zikir, sodaqoh dan sebagainya sering disebut dengan taqorrub, praktek ibadah seperti ini dilakukan oleh orang musyrik, sebagaimana informasi al-Qur’an QS (surat az-Zumar ayat 3) yang artinya “kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekanya ” Kemudian Allah merespons bahwa sesembahan itu tidak dapat menolong mereka.
Kemudian Islam menyempitkan makna kurban dengan menyembelih binatang tertentu yang disembelih pada hari raya idul adha dan tiga hari setelahnya yang yang disebut dengan hari tasyrik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.