Bangka Tengah, nidianews.com – Ratusan warga Desa Batu Beriga menggelar aksi protes pada Jumat (21/3) dengan mendatangi kantor desa. Aksi ini merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Pakta Integritas antara Kejaksaan Agung dan Bupati Bangka Tengah, yang dilakukan sehari sebelumnya di kantor pusat PT Timah Tbk, Bangka Belitung.
MoU ini dinilai masyarakat sebagai ancaman serius yang dapat membuka jalan bagi pertambangan laut di perairan Batu Beriga, sebuah aktivitas yang telah ditolak warga selama lebih dari dua dekade. Mereka menuntut transparansi penuh dari pihak desa dan mempertanyakan peran Badan Usaha Milik Desa (BumDes) Batu Beriga dalam kesepakatan tersebut.
Menurut warga, pemerintah desa tidak memberikan informasi yang jelas dan terbuka mengenai isi MoU dan Pakta Integritas yang telah ditandatangani. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kesepakatan tersebut akan melegitimasi izin tambang laut tanpa persetujuan masyarakat.
“Perjuangan menolak tambang laut di Batu Beriga sudah berlangsung selama 20 tahun. Pemerintah desa seharusnya menghargai aspirasi masyarakat yang dengan tegas menolak keberadaan tambang di perairan ini,” ujar Tancap, seorang nelayan Batu Beriga.
Ketiadaan informasi yang konkret juga membuat warga merasa bahwa pemerintah desa hanya sekadar memberikan klarifikasi tanpa menunjukkan bukti nyata terkait isi MoU. Warga menduga bahwa ada upaya untuk mengulur waktu hingga aktivitas pertambangan benar-benar berjalan.
Salah satu tuntutan utama warga adalah agar pemerintah desa secara terbuka menunjukkan dokumen MoU dan Pakta Integritas yang telah ditandatangani. Mereka menegaskan bahwa jika benar MoU tersebut tidak berisi kesepakatan mengenai izin tambang, maka tidak ada alasan bagi pemerintah desa untuk menyembunyikannya.
Daryus, nelayan lainnya, menyayangkan sikap pemerintah desa yang justru meminta warga untuk meminta penjelasan langsung ke Kejaksaan Negeri Bangka Tengah. Baginya, hal ini merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab yang tidak seharusnya terjadi.
“Jika memang tidak ada rencana pertambangan, seharusnya pemerintah desa bisa dengan mudah menunjukkan isi MoU dan Pakta Integritas tersebut. Kenapa harus berbelit-belit?” kata Daryus.
Di tengah aksi protes, Kepala Desa Batu Beriga, Ghani, membantah bahwa MoU tersebut mengandung persetujuan atas aktivitas tambang laut di perairan desanya.
“MoU ini bukan perjanjian kerja sama tambang, melainkan bentuk pendampingan hukum dalam tata kelola pertambangan secara umum. Ini bukan khusus untuk Batu Beriga,” ujar Ghani.
Meskipun demikian, pernyataan tersebut tidak cukup meyakinkan warga. Mereka menilai bahwa tanpa adanya bukti tertulis, pernyataan lisan tidak memiliki kekuatan hukum dan bisa berubah sewaktu-waktu.
Jorgi, seorang pemuda Desa Batu Beriga, menekankan bahwa Kejaksaan Agung harus mengevaluasi keterlibatan mereka dalam rencana pertambangan di Batu Beriga. Menurutnya, jika Kejaksaan benar-benar mengawal rencana tambang ini, maka Jaksa Agung perlu mengevaluasi kinerja Kajari Bangka Tengah.
“Jika benar ada rencana tambang laut yang dikawal Kejagung, maka ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap prinsip antikorupsi dan tata kelola sumber daya alam yang baik,” tegasnya.
Jorgi juga mengingatkan bahwa jika pemerintah desa tidak bisa menjelaskan isi MoU ini secara terbuka, maka seharusnya mereka mempertimbangkan ulang keikutsertaan mereka dalam penandatanganan kesepakatan tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari aksi protes ini, warga Batu Beriga berencana mengadakan pertemuan lanjutan yang akan digelar pada Senin (24/3). Pertemuan ini bertujuan untuk memastikan transparansi dan kejelasan terkait isi MoU dan Pakta Integritas yang telah ditandatangani.
Warga berharap agar pertemuan tersebut dapat menghadirkan dokumen resmi MoU, sehingga tidak ada lagi keraguan terkait isi kesepakatan yang telah dibuat. Mereka menegaskan bahwa perjuangan menolak pertambangan laut akan terus berlanjut hingga ada jaminan tertulis bahwa aktivitas tambang tidak akan dilakukan di perairan Batu Beriga. (*)