Pangkalpinang, nidianews.com – Kegelisahan intelektual dan pengamatannya terhadap berbagai diskusi mengenai hilirisasi mineral tambang menjadi titik awal lahirnya sebuah karya baru dari Dr Ichwan Azwardi, pakar pertambangan yang selama ini mendalami isu tata kelola industri dan hilirisasi komoditas timah.
Melihat adanya kesenjangan pemahaman filosofis dalam upaya mewujudkan hilirisasi, Dr Ichwan merasa perlu menyusun gagasan tersebut ke dalam sebuah buku yang dapat menjadi rujukan bagi pemangku kepentingan dalam menentukan arah industri timah Indonesia.
Buku berjudul Timah Indonesia “Bottle Neck” Hilirisasi Industri Pertambangan Komoditas Timah*** ini menjadi refleksi menyeluruh dari seorang praktisi yang telah puluhan tahun bergelut di sektor penambangan timah. Ini bukan buku pertama bagi Dr Ichwan; sebelumnya ia telah menulis sejumlah karya terkait penambangan timah, di antaranya Timah Indonesia Lingkup Hulu Komoditas Timah dan Go Offshore Go Deeper.
Lulusan doktor Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengungkap, gagasan awal buku ini muncul dari serangkaian seminar, dialog, serta forum lintas profesi yang ia hadiri. Meski diskusi-diskusi tersebut melibatkan banyak perspektif, ia melihat ada persoalan mendasar yang kerap terabaikan.
“Saya merasa ada hal-hal filosofis yang menjadi penghambat hilirisasi. Industri umum dan industri pertambangan memiliki karakter berbeda. Perbedaan inilah yang sering jadi rintangan dalam mewujudkan hilirisasi,” ujar pria kelahiran Medan itu.
Dalam bukunya, Ichwan menegaskan bahwa hilirisasi timah Indonesia harus dipahami melalui dua lanskap besar:
1.Industri pertambangan, yang mencakup eksplorasi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian.
2.Industri non-pertambangan (pabrik), yang mengolah produk hilir pertambangan menjadi berbagai komponen bernilai tambah.
Industri pertambangan menghasilkan ingot timah 99,99% sebagai produk hilir, yang kemudian menjadi bahan baku utama industri manufaktur. Produk turunannya sangat variatif, mulai dari solder, baterai, ponsel, perangkat pertahanan, hingga komponen mobil listrik.
Namun, Ichwan menyoroti fakta bahwa 95% logam timah Indonesia masih diekspor, sementara hanya sekitar 5% diserap di dalam negeri, mayoritas untuk industri solder yang merupakan tahap hilirisasi paling dasar.
Menurutnya, pemerintah kini semakin serius mendorong hilirisasi mineral kritis dan strategis, termasuk timah. Namun hilirisasi tidak akan berjalan tanpa terciptanya industri hilir yang kuat.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa hilirisasi dalam negeri belum ‘bangun’. Industri hilir harus diciptakan. Dan semua bergantung pada keberlanjutan suplai bahan baku,” tegasnya.
Ia menilai keberlanjutan pasokan dari hulu menjadi faktor penentu. Tanpa kepastian bahan baku, industri hilir tidak akan tumbuh. Karena itu, perbaikan tata kelola pertambangan menjadi kunci utama.
Dalam buku ini, Ichwan memetakan sejumlah tantangan mendasar dalam hilirisasi timah, di antaranya:
- Menentukan jenis produk hilir apa yang ingin dikembangkan di Indonesia.
- Merumuskan kebutuhan bahan baku: jenis, kualitas, hingga kuantitasnya.
- Menilai nilai produk hilir dan bahan bakunya agar industri pertambangan dapat menyesuaikan skala dan proses bisnis.
“Semua data ini harus jelas, karena industri pertambangan akan menyesuaikan proses bisnisnya berdasarkan kebutuhan hilir,” tegasnya.
Salah satu gagasan menarik yang ia angkat adalah bahwa angka cadangan timah tidak bersifat tetap atau given, melainkan hasil dari desain proses bisnis yang efisien.
“Semakin efisien proses bisnis perusahaan, semakin besar cadangannya. Jika tidak efisien, semakin sedikit yang bisa diklasifikasikan menjadi cadangan. Ini murni proses engineering,” jelasnya.
Baginya, negara maju adalah negara yang menguasai teknologi. Sementara timah merupakan komponen penting berbagai perangkat strategi mulai dari pertahanan, elektronik, hingga energi ramah lingkungan.
“Indonesia diberkahi cadangan timah yang besar. Ini modal penting untuk membangun industri hilirisasi. Produk-produk hilir akan memperkuat ekonomi sekaligus kedaulatan negara,” ujarnya.
Ichwan berharap karyanya dapat membantu masyarakat dan pemangku kepentingan memahami karakter berbeda antara industri pertambangan dan non-pertambangan. Pemahaman ini penting agar diskusi mengenai hilirisasi berjalan di atas fondasi yang tepat.
“Para pihak perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu. Buku ini saya tulis agar pembaca dapat melihat hilirisasi timah secara lebih jernih,” tutupnya.(*)
sumber: www.timah.com


















