Pangkalpinang, nidianews.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bangka Belitung melakukan mitigasi dan pemetaan terhadap tempat pemungutan suara (TPS) memiliki potensi kerawanan pada Pemilukada serentak tahun 2024 di Babel.
Dalam melakukan pemetaan ini, Bawaslu melakukan 9 indikator di TPS rawan. Hal ini dijelaskan Koordinator Divisi Pencegahan Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Babel Sahirin dalam kegiatan Rapat Penguatan Kelembagaan Publikasi Indeks Kerawanan Pemilu tahun 2024, berlangsung di Ruang Rapat Bawaslu Babel di Pangkalpinang, Rabu (20/11/2024).
Menurut Sahirin bahwa ada 9 indikator TPS rawan yang paling banyak terjadi, 9 indikator yang banyak terjadi serta 6 indikator yang tidak banyak terjadi, namun tetap perlu diantisipasi.
Dimana pemetaan ini diambil dari dari sedikitnya 374 dari 393 kelurahan/desa di 7 kabupaten/kota yang melaporkan kerawanan TPS di wilayahnya.
“Kami ada mendapat laporan dari 7 kabupaten/kota. Dimana pengambilan data TPS rawan dilakukan selama 6 hari, yaitu 10-16 Nopember 2024,” ujar Sahirin.
Sahirin mengemukakan bahwa rawan yang tinggi tingkatannya yaitu logistik, pengguna hak pilih, jaringan internet dan selanjutnya hingga ke 9 dalam kategori sedang.
“Mudah-mudahan dengan mitigasi agar pada pilkada serentak tahun 2024 ini tidak terjadi,” ungkapnya.
Bahkan menurut Sahirin, dari data potensi kerawanan di TPS, Bawaslu akan memberikan imbauan ke komisi pemilihan umum (KPU).
“Daerah mana dan desa mana yang pernah punya riwayat yang kekurangan logostik atau kelebihan logistik hak pilihnya, untuk diantisipasi sedini mungkin agar KPPS dapat menyadarinya,” jelas Sahirin.
Dikatakan Sahirin, ada pemilih di TPS nya yang tidak memenuhi syarat. Seperti misalnya ada pemilih yang sudah meninggal dan C6 nya jangan disampaikan.
Namun ada pula pemilih yang tidak terdata, dan jangan sampai untuk kehilangan hak pilihnya.
Disisilain Sahirin menambahkan pernah terjadi riwayat rawan konflik sosial di satu desa dan beberapa TPS.
“Ini juga kami sampaikan ke KPU,” kata Sahirin.
Sahirin menambahkan akan melakukan patroli pemetaan di desa yang berpotensi rawan konflik sosial tersebut.
“Akan kita petakan berupa kerawanan seperti apa. Apakah itu persoalan politik atau soal pertambangan,” ujar Sahirin.
Lebihlanjut Sahirin mengemukakan bahwa variabel pengguna hak pilih mencakup TPS dengan pemilih daftar pemilih tetap (DPT) yang sudah tidak memenuhi syarat, pemilih pindahan (DPTb), potensi pemilih yang tidak terdaftar (Potensi DPK), penyelenggara pemilihan yang memilih di luar domisili, pemilih disabilitas, penggunaan sistem Noken yang tidak sesuai, serta riwayat Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Sementara itu pada variabel keamanan, mwnurut Sahirin fokusnya adalah TPS yang memiliki riwayat kekerasan, intimidasi terhadap penyelenggara, dan penolakan penyelenggaraan pemungutan suara.
Variabel politik uang berfokus pada TPS dengan riwayat pemberian uang atau materi lainnya yang tidak sesuai ketentuan kampanye.
Variabel politisasi SARA mengamati TPS yang memiliki riwayat praktik menghina atau menghasut terkait isu agama, suku, ras, dan golongan.
Variabel netralitas mencakup TPS dengan petugas KPPS yang berkampanye atau tindakan ASN, TNI/Polri, atau perangkat desa yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Variabel logistik mencakup TPS dengan riwayat kerusakan logistik, kekurangan atau kelebihan logistik, serta keterlambatan distribusi logistik.
Variabel lokasi TPS mengamati TPS yang sulit dijangkau, berada di wilayah rawan konflik atau bencana, serta TPS yang dekat dengan lembaga pendidikan, wilayah kerja, rumah pasangan calon, atau posko tim kampanye.
Serta variabel jaringan internet dan aliran listrik mencakup TPS yang memiliki kendala jaringan internet dan aliran listrik.(AS)